Minggu, 02 Agustus 2009

Tugas Ekop Farizan Muhammad Hashfi

Suwarni, Wanita Tukang Ojek

Secara tidak terduga dia bertemu dengan Suwarni di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik. Di perkebunan tebu, kampung pelosok, jalan mulus, tiba-tiba salah satu sepeda motor bocor bannya. Mana ada tukang tambal ban?

Menuntut motor sambil bercanda, sekitar tiga kilometer, kami bertemu SUWARNI. "Bocor ya? Mau ditambal?" ujar Warni. Tentu saja. Dalam sekejap, dia keluarkan perkakas tambal ban... dan mulai bekerja. Sangat lincah!

"Saya memang tukang tambal ban. Saya sudah menekuni pekerjaan ini sejak 1993. Kerja apa saja, pokoke halal," ujar wanita asli Tarik, Sidoarjo, lahir tahun 1963 ini. Tak sampai 30 menit, pekerjaan Warni rampung.

"Untung ada Ning Warni, kalau tidak kita harus tuntun ke Mojokerto," komentar Agus, loper koran.

Suwarni ternyata bukan hanya jago tambal ban, yang kondang di kawasan Tarik hingga Mojokerto. Ibu tiga anak ini juga sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek. Sehari-hari Warni melintas di jalan-jalan kampung mulai Tarik, Mojokerto, Prambon, Tulangan, Tanggulangin, hingga Sidoarjo. "Tergantung konsumenlah. Kita sih senang saja. Namanya juga cari makan," tuturnya, lembut.

Menjadi tukang ojek, kemudian tambal ban, dilakoninya saat ia berusia 30 tahun. Berbekal kepiawaian mengemudikan motor, Warni mencoba menekuni ojek, dunia laki-laki. (Sampai sekarang Warni merupakan satu-satunya tukang ojek wanita.) Tentu saja, muncul banyak suara sumbang, atau sekadar heran, kok wanita jadi tukang ojek rangkap tambal ban? Bukankah itu pekerjaan laki-laki?

Namun, Warni tenang saja. "Biarkan aja mereka bicara. Saya kan bekerja untuk kebutuhan keluarga. Kalau saya nggak kerja, apa mereka bantu keluarga saya?"
Memang, di awal-awal menekuni ojek plus tambal ban Warni dianggap aneh, nyeleneh, nggak umum. Tapi, lama kelamaan, warga Krian dan sekitarnya terbiasa juga melihat Warni berkiprah di jalan raya. Menurut dia, yang heran melihatnya sebagai tukang ojek dan tambal justru orang-orang 'luar'.

Secara tak langsung, meminjam ungkapan kalangan feminis, Warni diam-diam berhasil melakukan dekonstruksi budaya patriarkhi yang sangat kuat di masyarakat Indonesia. Ning Warni membuktikan bahwa pembagian pekerjaan atas dasar jenis kelamin (wanita urusan domestik, laki-laki urusan publik) sebetulnya tidak relevan di zaman globalisasi ini.

Ada keuntungan tersendiri buat Ning Warni. Sebagai wanita, ia justru lebih disukai kaum hawa yang ingin menggunakan jasa ojek. Wanita membonceng wanita jelas lebih diterima di kawasan pedusunan. Wanita bagaimanapun juga punya kendala psikologis kalau dibonceng ojek pria kendati sudah kenal.

"Lebih sreg kalau dibonceng Ning Warni. Kita kan sama-sama wanita, jadi enak kalau di jalan," ujar seorang Siti Fatimah, wanita berjilbab.

Bagi penganut Islam taat ini, laki-laki membonceng wanita yang bukan 'muhrim' secara teologis tidak bisa diterima. Jika wanita ojek seperti Ning Warni diperbanyak, justru lebih bagus.

Warni mengaku beberapa kali membuat penumpangnya terkecoh. Memakai kaos oblong, celana panjang, helm standar, si penumpang (baru) itu tidak sadar kalau si tukang ojek yang ditumpanginya perempuan. Di tengah jalan, ketika berdialog, si penumpang terkejut karena suara tukang ojek ternyata perempuan.

"Maaf, sampayen ini laki-laki apa perempuan?" tanya si penumpang. Lantas, Warni buka helemnya, memperlihatkan wajah serta rambut panjangnya. Ger-geran pun terjadi. Si ojek ini ternyata wanita tulen, bukan waria, bukan pria.

Swarni mengaku kaget karena keberaniannya menekuni 'profesi laki-laki' ternyata mendapat perhatian orang lain. Tiba-tiba saja ada panitia KARTINI AWARD (Hotel Surabaya Plaza, dulu Hotel Radisson) datang menghubunginya di Dusun Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

Waktu itu Ning Warni, sapaan akrabnya, tengah menggeluti profesinya, tambal ban.
Sembari menunggu penumpang (ojek). Warni dianggap memenuhi kriteria Kartini Award, sehingga layak mendapat penghargaan. Acara digelar di Surabaya, di tengah-tengah hotel berbintang. "Saya kaget sekali, kok dapat penghargaan. Prestasi saya apa? Beneran apa main-main," kenangnya.

Sang panitia ternyata bisa meyakinkan Warni. Akhirnya, ibu tiga anak itu (SRI IRAWATI, JOKO BASUKI, RIA AGUSTINA) datang ke Surabaya pada Hari Kartin. Benar. Ning Warni, yang sejak 1993 hanya beredar di pelosok Tarik, tiba-tiba menjadi bintang acara. Dielu-elukan, dipuji sebagai wanita yang bisa mewujudkan cita-cita Raden Ajeng Kartini.

"Lumayan, hadiahnya macam-macam. Uang tunai, piagam, serta bingkisan lain," tutur istri Cak Otheng, dedengkot ludruk di kawasan Tarik.

Acara Kartini Award itu diliput banyak wartawan dari berbagai media lokal maupun nasional, termasuk televisi. Maka, wajah Warni pun masuk koran, majalah, tabloid, televisi. Warga Dusun Mergosari pun terkaget-kaget menyaksikan sosok Warni di media massa. Kok bisa tukang ojek dan tambal ban diliput kayak selebriti saja? Warni sendiri hanya tersenyum.

Ia tetap sederhana, melayani konsumen (ojek dan tambal ban) dengan ramah, apa adanya. Tak ada yang berubahpada diri seorang Ning Warni kendati sempat diliput luas media massa. Warni menganggap Kartini Award, liputan media massa, apresiasi warga Surabaya, sebagai dukungan moral baginya untuk terus menekuni profesi 'laki-laki' ini.

Syukur-syukur, makin banyak wanita yang jadi tukang ojek, tambal ban, tentara, polisi, wartawan, seniman... profesi apa pun. Profesi apa pun, katanya, bisa dilakoni kaum perempuan dengan hasil yang tak kalah dengan kerja laki-laki. Dus, tak perlu ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. "Yang penting, kita tekuni pekerjaan kita."

Oh, ya, ada satu lagi profesi yang ditekuni Warni. Ia pemain Ludruk GEMA TRIBRATA, grup seni tradisi yang dibina Polda Jawa Timur. Cak Otheng, suaminya, merupakan pemimpin ludruk yang bermarkas di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

"Sampai sekarang saya masih main meskipun akhir-akhir ini tanggapan agak kurang. Ludruk kan main malam, sehingga nggak mengganggu pekerjaan tambal ban dan ojek," ujar Warni seraya tersenyum. [Karena main ludruk itulah, Suwarni lebih dikenal sebagai Ning Warni. Semua pemain ludruk memang menggunakan sapaan akrab 'Cak' untuk pria dan 'Ning' untuk wanita.]

Ketika Gema Tribrata sepi tanggapan, Ning Warni dan Cak Otheng tak kehabisan akal. Mereka membentuk grup campursari daam jumlah kecil. Ini penting untuk menyiasati pasar yang sulit menanggap grup besar seperti Gema Tribrata yang 50-60 orang. "Saya dipasang sebagai pelawak. Main campursari, mengisi wayang kulit, juga bisa," tuturnya, bangga.

Menurut Ning Warni, wanita yang menekuni beberapa pekerjaan bernuansa laki-laki (kecuali ludruk dan campursari) butuh niat, kemauan, sangat keras. Sebab, ia pertama-tama akan menghadapi tantangan dari lingkungan terdekat, keluarga, tetangga, masyarakat. Harus berani menghadapi realitas sosial itu, tidak terpengaruh oleh suara-suara miring hingga cemoohan. Kalau sudah terbiasa, maka suara-suara sumbang itu akan hilang dengan sendirinya.

Hanya 'wanita perkasa' seperti Ning Warni yang bisa begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar