Tampilkan postingan dengan label Tugas Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tugas Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Agustus 2009

Tugas Ekop Farizan Muhammad Hashfi

Suwarni, Wanita Tukang Ojek

Secara tidak terduga dia bertemu dengan Suwarni di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik. Di perkebunan tebu, kampung pelosok, jalan mulus, tiba-tiba salah satu sepeda motor bocor bannya. Mana ada tukang tambal ban?

Menuntut motor sambil bercanda, sekitar tiga kilometer, kami bertemu SUWARNI. "Bocor ya? Mau ditambal?" ujar Warni. Tentu saja. Dalam sekejap, dia keluarkan perkakas tambal ban... dan mulai bekerja. Sangat lincah!

"Saya memang tukang tambal ban. Saya sudah menekuni pekerjaan ini sejak 1993. Kerja apa saja, pokoke halal," ujar wanita asli Tarik, Sidoarjo, lahir tahun 1963 ini. Tak sampai 30 menit, pekerjaan Warni rampung.

"Untung ada Ning Warni, kalau tidak kita harus tuntun ke Mojokerto," komentar Agus, loper koran.

Suwarni ternyata bukan hanya jago tambal ban, yang kondang di kawasan Tarik hingga Mojokerto. Ibu tiga anak ini juga sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek. Sehari-hari Warni melintas di jalan-jalan kampung mulai Tarik, Mojokerto, Prambon, Tulangan, Tanggulangin, hingga Sidoarjo. "Tergantung konsumenlah. Kita sih senang saja. Namanya juga cari makan," tuturnya, lembut.

Menjadi tukang ojek, kemudian tambal ban, dilakoninya saat ia berusia 30 tahun. Berbekal kepiawaian mengemudikan motor, Warni mencoba menekuni ojek, dunia laki-laki. (Sampai sekarang Warni merupakan satu-satunya tukang ojek wanita.) Tentu saja, muncul banyak suara sumbang, atau sekadar heran, kok wanita jadi tukang ojek rangkap tambal ban? Bukankah itu pekerjaan laki-laki?

Namun, Warni tenang saja. "Biarkan aja mereka bicara. Saya kan bekerja untuk kebutuhan keluarga. Kalau saya nggak kerja, apa mereka bantu keluarga saya?"
Memang, di awal-awal menekuni ojek plus tambal ban Warni dianggap aneh, nyeleneh, nggak umum. Tapi, lama kelamaan, warga Krian dan sekitarnya terbiasa juga melihat Warni berkiprah di jalan raya. Menurut dia, yang heran melihatnya sebagai tukang ojek dan tambal justru orang-orang 'luar'.

Secara tak langsung, meminjam ungkapan kalangan feminis, Warni diam-diam berhasil melakukan dekonstruksi budaya patriarkhi yang sangat kuat di masyarakat Indonesia. Ning Warni membuktikan bahwa pembagian pekerjaan atas dasar jenis kelamin (wanita urusan domestik, laki-laki urusan publik) sebetulnya tidak relevan di zaman globalisasi ini.

Ada keuntungan tersendiri buat Ning Warni. Sebagai wanita, ia justru lebih disukai kaum hawa yang ingin menggunakan jasa ojek. Wanita membonceng wanita jelas lebih diterima di kawasan pedusunan. Wanita bagaimanapun juga punya kendala psikologis kalau dibonceng ojek pria kendati sudah kenal.

"Lebih sreg kalau dibonceng Ning Warni. Kita kan sama-sama wanita, jadi enak kalau di jalan," ujar seorang Siti Fatimah, wanita berjilbab.

Bagi penganut Islam taat ini, laki-laki membonceng wanita yang bukan 'muhrim' secara teologis tidak bisa diterima. Jika wanita ojek seperti Ning Warni diperbanyak, justru lebih bagus.

Warni mengaku beberapa kali membuat penumpangnya terkecoh. Memakai kaos oblong, celana panjang, helm standar, si penumpang (baru) itu tidak sadar kalau si tukang ojek yang ditumpanginya perempuan. Di tengah jalan, ketika berdialog, si penumpang terkejut karena suara tukang ojek ternyata perempuan.

"Maaf, sampayen ini laki-laki apa perempuan?" tanya si penumpang. Lantas, Warni buka helemnya, memperlihatkan wajah serta rambut panjangnya. Ger-geran pun terjadi. Si ojek ini ternyata wanita tulen, bukan waria, bukan pria.

Swarni mengaku kaget karena keberaniannya menekuni 'profesi laki-laki' ternyata mendapat perhatian orang lain. Tiba-tiba saja ada panitia KARTINI AWARD (Hotel Surabaya Plaza, dulu Hotel Radisson) datang menghubunginya di Dusun Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

Waktu itu Ning Warni, sapaan akrabnya, tengah menggeluti profesinya, tambal ban.
Sembari menunggu penumpang (ojek). Warni dianggap memenuhi kriteria Kartini Award, sehingga layak mendapat penghargaan. Acara digelar di Surabaya, di tengah-tengah hotel berbintang. "Saya kaget sekali, kok dapat penghargaan. Prestasi saya apa? Beneran apa main-main," kenangnya.

Sang panitia ternyata bisa meyakinkan Warni. Akhirnya, ibu tiga anak itu (SRI IRAWATI, JOKO BASUKI, RIA AGUSTINA) datang ke Surabaya pada Hari Kartin. Benar. Ning Warni, yang sejak 1993 hanya beredar di pelosok Tarik, tiba-tiba menjadi bintang acara. Dielu-elukan, dipuji sebagai wanita yang bisa mewujudkan cita-cita Raden Ajeng Kartini.

"Lumayan, hadiahnya macam-macam. Uang tunai, piagam, serta bingkisan lain," tutur istri Cak Otheng, dedengkot ludruk di kawasan Tarik.

Acara Kartini Award itu diliput banyak wartawan dari berbagai media lokal maupun nasional, termasuk televisi. Maka, wajah Warni pun masuk koran, majalah, tabloid, televisi. Warga Dusun Mergosari pun terkaget-kaget menyaksikan sosok Warni di media massa. Kok bisa tukang ojek dan tambal ban diliput kayak selebriti saja? Warni sendiri hanya tersenyum.

Ia tetap sederhana, melayani konsumen (ojek dan tambal ban) dengan ramah, apa adanya. Tak ada yang berubahpada diri seorang Ning Warni kendati sempat diliput luas media massa. Warni menganggap Kartini Award, liputan media massa, apresiasi warga Surabaya, sebagai dukungan moral baginya untuk terus menekuni profesi 'laki-laki' ini.

Syukur-syukur, makin banyak wanita yang jadi tukang ojek, tambal ban, tentara, polisi, wartawan, seniman... profesi apa pun. Profesi apa pun, katanya, bisa dilakoni kaum perempuan dengan hasil yang tak kalah dengan kerja laki-laki. Dus, tak perlu ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. "Yang penting, kita tekuni pekerjaan kita."

Oh, ya, ada satu lagi profesi yang ditekuni Warni. Ia pemain Ludruk GEMA TRIBRATA, grup seni tradisi yang dibina Polda Jawa Timur. Cak Otheng, suaminya, merupakan pemimpin ludruk yang bermarkas di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.

"Sampai sekarang saya masih main meskipun akhir-akhir ini tanggapan agak kurang. Ludruk kan main malam, sehingga nggak mengganggu pekerjaan tambal ban dan ojek," ujar Warni seraya tersenyum. [Karena main ludruk itulah, Suwarni lebih dikenal sebagai Ning Warni. Semua pemain ludruk memang menggunakan sapaan akrab 'Cak' untuk pria dan 'Ning' untuk wanita.]

Ketika Gema Tribrata sepi tanggapan, Ning Warni dan Cak Otheng tak kehabisan akal. Mereka membentuk grup campursari daam jumlah kecil. Ini penting untuk menyiasati pasar yang sulit menanggap grup besar seperti Gema Tribrata yang 50-60 orang. "Saya dipasang sebagai pelawak. Main campursari, mengisi wayang kulit, juga bisa," tuturnya, bangga.

Menurut Ning Warni, wanita yang menekuni beberapa pekerjaan bernuansa laki-laki (kecuali ludruk dan campursari) butuh niat, kemauan, sangat keras. Sebab, ia pertama-tama akan menghadapi tantangan dari lingkungan terdekat, keluarga, tetangga, masyarakat. Harus berani menghadapi realitas sosial itu, tidak terpengaruh oleh suara-suara miring hingga cemoohan. Kalau sudah terbiasa, maka suara-suara sumbang itu akan hilang dengan sendirinya.

Hanya 'wanita perkasa' seperti Ning Warni yang bisa begitu.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Meniti Karir Kedua: Beberapa Alternatif Usaha Saat Karir Kedua

Nadhira Shalihan Ardi
7a SMP Taruna Bakti
(maaf baru copy paste belum pake karangan sendiri

BEKERJA SETELAH PENSIUN

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]:10)

Dalam Islam tidak mengenal istilah pensiun. Yang ada adalah istirahat karena lelah. Manusia selalu dituntut untuk bekerja dan beramal saleh selama hayat masih dikandung badan. Bekerja di sini tidak selalu didefinisikan bekerja di perusahaan atau perkantoran. Artinya walaupun sudah tidak bekerja diperusahaan atau perkantoran, tapi ada pekerjaan lain untuk mengisi waktu hidupnya. Masih banyak alternatif pekerjaan yang bisa dilakukan dan itu masih sangat bermanfaat untuk memulai Karir Kedua.

Mau Bekerja Setelah Pensiun

Banyak pensiunan yang tidak tahu harus bekerja apa setelah pensiun. Poin-poin di bawah ini mungkin berguna untuk membantu membuka wawasan, sehingga para pensiunan tidak lagi bingung dengan apa yang harus dikerjakan setelah pensiun:

1. Umumnya orang merasa tak berguna jika tak ada sesuatu dikerjakan. Perasaan tak berguna ini menimbulkan perasaan ditolak masyarakat, tidak dikehendaki dan kondisi-kondisi ini dapat menimbulkan penyakit-penyakit organis. Karena itu, kenalilah diri sendiri, apa tujuan hidup ini, dan bagaimana menjadi hidup bermakna. Kalau hal itu sudah ditemukan peraasaan tidak berguna menjadi sirna. Hidupnya menjadi tenang, tentram, dan damai. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Barang siapa mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya,” (HR. Muslim). Karena memang manusia diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan.
2. Kalau kita punya hobi keadaan di atas bisa diatasi. Apalagi kita memerlukan penghasilan atau uang, maka hobi tersebut bisa dikomersialkan, menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi atau hobbiology. Tentunya bukan yang dilarang agama.
3. Perhatikan profesi atau pengalaman kerja, mungkin saja pekerjaan itu sesuatu yang masih langka, sehingga setelah pensiun bisa disumbangkan atau masih diperlukan masyarakat. Misalnya, mantan manajer keuangan bisa menjadi konsultan keuangan atau jadi bendahara suatu yayasan.
4. Kalau kita mati bukan saja mewariskan harta untuk keluarga yang ditinggalkan, tapi dapat pula mewariskan ilmu, ketrampilan dan pengalaman kita pada generasi penerus. Selain sebagai warisan yang tak ternilai, juga menjadi “investasi” akhirat. Sebagai mana hadis Rasulullah: “Jika mati anak adam terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim)
5. Berhasil atau tidaknya pekerjaan setelah pensiun, sangat tergantung kepada berbagai faktor, antara lain, kategori mana atau usaha apa yang akan dikerjakan, persiapan dan sikap-sikap apa yang telah dimiliki (niat yang sungguh-sungguh) serta hobi apa saja yang telah kita kembangkan, dsb. Pentingnya niat ini diungkapkan dalam hadis Rasulullah: “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrah untuk meraih kesenangan dunia dan menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi,” (HR. Bukhari).
6. Pada umur 55 tahun manusia punya pengetahuan, pengalaman, serta berkontribusi untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Rasulullah pernah bersabda: “Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu?’ Nabi Saw menjawab, ‘Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.’ Dia bertanya lagi, ‘Dan yang bagaimanakah orang yang paling buruk (jahat)?’ Nabi Saw menjawab, ‘Adalah orang yang paling panjang usianya dan jelek amal perbuatannya’,” (HR.At-Thabrani dan Abu Nu’aim).
7. Semuanya tergantung keputusan diri kita, apakah: Bekerja untuk orang lain: fulltime atau part time, Bekerja untuk orang/badan lain, apakah dapat bayaran atau sekedar “amal” (relawan), Bekerja untuk diri sendiri.

Empat Pilihan Kerja Bagi Pensiunan

Seorang karyawan atau pegawai perusahaan di Indonesia akan memasuki pensiun ketika berusia 55 tahun atau 48 tahun untuk tamtama ABRI. Usia tersebut sebetulnya masih tergolong muda. Bandingkan dengan di luar negeri yang pensiunnya pada usia 65 tahun. Selain masih muda dan bertenaga, pada usia itu juga banyak karyawan atau pegawai punya anak yang memerlukan biaya. Karena itu, bekerja lagi menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi, “wajib”, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena penghasilan saat masih aktif akan turun sampai 50%. Bekerja atau menjalani karir kedua saat pensiun, sebetulnya sangat positif baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Islam sendiri menuntut kita untuk selalu bekerja, berbuat baik, dan beramal saleh di dunia. Tidak mengenal batasan waktu. Karenanya, menganggur itu termasuk perbuatan berdosa. Dalam hadis Rasulullah diungkapkan, “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan trampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah azza wajilla,” (HR. Ahmad).

Di bawah ini ada empat pilihan kerja alternatif bagi pensiunan yang ingin memulai karir kedua:

* Bekerja Full time. Kerja full time menjadi pilihan bila keadaan ekonomi atau keuangan Anda kekurangan. Banyak tanggungan yang masih belum lepas harus dipenuhi kebutuhannya, atau karena tak punya hobi atau tidak ada financial planning, dan lain-lain. Sehingga Anda harus kerja keras seperti biasa, full time.
* Bekerja “part time”. Kerja part time menjadi pilihan kalau Anda perlu uang tambahan, penghasilan setelah pensiun lebih rendah dibanding ketika masih aktif, dan anda tidak mau kerja keras seperti waktu masih muda.
* Wiraswasta (self employed). Kalau Anda punya persediaan uang cukup untuk modal usaha, berwirausaha (self employed) menjadi alternatif yang perlu dicoba. Mulai dari usaha untuk “diri sendiri” yang kurang berisiko seperti menjadi konsultan sampai yang membutuhkan modal (investment business), baik dengan modal sendiri maupun pinjaman dari bank. Namun, usaha yang menggunakan modal harus persiapan yang matang, tidak bisa coba-coba dulu. Kecuali coba-coba atau nyambinya waktu masih dalam Karir Pertama. Sebab, pada masa lansia ini agak sulit untuk latihan usaha dengan coba-coba, jadi segalanya harus direncanakan jauh-jauh hari sebelum pensiun.
* Bersenang-senang menikmati masa pensiun. Hal ini kalau Anda termasuk orang yang beruntung. Kondisi keuangannya sangat baik, sehingga tak perlu lagi tambahan penghasilan setelah pensiun. Walau demikian, menikmati masa pensiun tentunya bukan hanya dengan makan dan tidur saja. Sebaiknya tugas “routine” harus ada, apakah kerja sosial karena amal, karena manusia yang baik adalah bermanfaatnya bagi orang lain dan masyarakat.

Bekerja “Full Time” Seperti Waktu Muda

Karena alasan ekonomi ataupun alasan lain, banyak orang yang tetap memutuskan untuk berusaha bekerja full time setelah pensiun. Ini tidak menjadi masalah karena usia pensiun di Indonesia tergolong muda (55 tahun atau kurang), dan pada usia itu masih banyak yang fit. Apalagi untuk profesi-profesi yang betul-betul dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Ini jelas saling menguntungkan, baik bagi perusahaan maupun orang yang pensiun. Biasanya perusahaan yang masih tetap mempekerjakan orang yang telah pensiun beralasan:

* Perpanjangan dinas. Alasannya perusahaan belum punya penggantinya (walau sebenarnya ini praktik buruk tidak mendidik) baik dari dalam maupun dari luar. Mereka yang telah pensiun tapi tenaganya masih dibutuhkan biasanya sebagai advisor, specialist atau staff ahli “consultant” dan jabatan aktif (established job).
* Ada juga alasan manajemen, karena merasa “kasihan” . jadi mempekerjakan lagi untuk menolong yang bersangkutan, meskipun penggantinya sudah siap. Ini sebetulnya kurang baik, karena akan menimbulkan frustasi karyawan lain yang menunggu :kosong kursi” tersebut.
* Kerja full time dengan perusahaan atau organisasi lain cukup sulit, karena perusahaan lain menginginkan tenaga muda. Kecuali jika bekerja pada organisasi sosial sebagai relawan (volunteer).

Tapi kadang-kadang ada perusahaan-perusahaan kecil yang akan mendapatkan manfaat jika mempekerjakan pensiunan-pensiunan yang mempunyai keahlian tertentu dan berpengalaman.

Bekerja “Part Time” Sesuatu Yang Ideal

1. Kalau seorang pensiunan memutuskan kerja part time, berarti ia ingin uang, gaji dan penghasilan tambahan, atau ingin waktu yang fleksibel. Tidak ketat seperti masa aktif dulu. Selain itu, karena kondisi sudah menurun, sehingga ingin bekerja agak santai.
2. Kerja part time atau paruh waktu ini bisa diatur waktunya sesuai keinginan kita. Disamping itu, kalau bekerja part time kurang mendapatkan “resistance’ dari karyawan yang ada di dalam, sehingga bisa bekerja lebih tenang.
3. Bila kerja part time dengan perusahaan lama, perusahaan dan pensiunan sama-sama untung, karena sudah saling mengenal. Fasilitas atau lowongan kerja “part time” maupun “full time” kebanyakan merupakan gift (hadiah) pada golongan senior yang, tentu saja, merupakan sumber iri hati bagi yang junior, karena tidak mendapatkan “hadiah” ini.
4. Kerja part time dengan perusahaan lain. Kerja “part time” dengan perusahaan yang baru memang masih jarang, tapi bisa terjadi sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut, yang memerlukan tenaga-tenaga berpengalaman yang hanya sewaktu-waktu saja.
5. Bekerja “full time” itu bisa berbentuk 6 hari kerja atau 40 jam seminggu, maka yang disebut kerja “part time” atau “paruh waktu” bisa dalam bentuk tiga hari penuh dalam seminggu, 6 hari tapi hanya ½ hari kerja atau dalam seminggu hanya 20 jam kerja, 2 hari satu mingu, tiga hari dalam satu minggu, dan lain-lain. Jadi sangat fleksibel sesuai keinginan dan kesepakatan kedua pihak.

Kebetulan saya sendiri pernah menjalani bentuk-bentuk kerja seperti di atas, dan diperpanjang setelah pensiun di perusahaan lama sebagai konsultan di Jakarta, dua hari seminggu. Tiga hari tiap dua minggu sebagai konsultan di Pulau Batam, dua tahun full time sebagai konsultan di Jakarta, dan bentuk lainnya yang disesuaikan.

Jadi Wiraswasta (self employed), Banyak Peluang
a. Pulang kampung, kembali ke desa, dan transmigasi. Dulu banyak pensiunan “pulang kampung” untuk menikmati hari tua yang serba murah, menikmati udara bersih pedesaan. Tapi sering kali menjadi problem, misalnya banyak yang tak kenal lagi atau anak-anak yang tak setuju. Pulang kampung perlu persiapan mental, karena sudah terbiasa tinggal di kota. Namun, dengan adanya sarana seperti listrik dan telekomunikasi?HP bisa memudahkan dalam menjalani kehidupan. Tinggal persiapan-persiapan matang dalam mengatur program “routine”.

Kalau mau usaha agribisnis, apalagi dengan program ekspor non-migas yang kurang dikembangkan, dirangsang, atau dibina oleh Pemerintah Indonesia yang kaya dan punya peluang besar, tentunya pulang kampung, kembali ke desa, seperti Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, dan Papua menjadi pilihan ideal, karena di sana tanah jauh lebih murah dari kota atau Pulau Jawa yang super padat.

b. Buka small business. Di kota besar banyak berbagai usaha kecil-kecilan yang dilakukan di rumah. Misalnya, katering, maintenance service, accountancy service, terjemahan, dan lain-lain.

c. Buka small industry. Small industry ataupun Home industry sangat dirangsang pemerintah karena berarti membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Berbagai kredit dan penyuluhan biasanya disediakan, tapi ingat apakah kita punya latar belakang hobi atau pengetahuan atas bidang tertentu, sehingga menjadi spesialis. Membuka small industry perlu overview, wawasan ke depan, soal produksi, keuangan, pemasaran, pembelian, dan lain-lain.

d. Jadi konsultan. Konsultan di Indonesia banyak yang diperlukan. Apakah itu bidang “teknikal” atau “manajemen” tapi si calon harus punya keseimbangan antara academic acievements (kemampuan akademis) dan pengalaman praktis.

Calon konsultan bukan “Jack of all trades”. Tapi harus memiliki visi yang luas dan pengetahuan yang mendalam dalam bidang-bidang yang spesialis agar dapat menyelesaikan problem-problem bisnis yang makin rumit.

e. Kalau ingin tahu komoditi non-migas yang baik pasarannya (untuk ekspor), harap konsultasi dengan Departemen Perdagangan, juga kita harus tahu barang impor apa (tentang pangan) yang kita bisa produksi ini sangat banyak dan “memalukan” yang tiap tahun berkembang terus dan makin banyak produk Indonesia yang dibutuhkan di luar negeri.

Bekerja untuk “Amal” Sebagai Relawan

Selain untuk uang, manusia juga bekerja “karena Allah” semata-mata untuk amal dalam mengisi waktu hidupnya. Dengan amalnya tersebut masyarakat bisa mengambil manfaat. Namun, bila seseorang bekerja untuk amal atau sebagai relawan memerlukan “complete reorientation” dari hidupnya untuk menyesuaikan masa pensiunnya. Ia perlu memikirkan dan menentukan kegiatan apa yang bisa bermanfaat bagi masyarakat, seperti:

1. Dalam mengisi masa pensiun anda bisa melakukan kegiatan-kegiatan philantropis (kedermawanan sosial) aktif di lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga keagamaan, dan organisasi-organisasi sosial lain banyak memerlukan tenaga-tenaga relawan untuk pengabdian ini.
2. Kegiatan-kegiatan profesional. Lembaga-lembaga profesional juga akan dengan hati menyambut mereka yang mau jadi relawan. Di Kanada misalnya, para pensiunan banyak mengabdikan dirinya di luar negeri sesuai dengan profesinya. Saat di Pangkalan Brandan (1978), saya pernah mendapatkan bantuan dari relawan Kanada sebagai guru bahasa Inggris.
3. Kegiatan-kegiatan akademisi. Mereka yang ingin jadi pengajar relawan di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan akan disambut dengan baik, demi mewariskan pengalaman kita pada generasi muda. Tapi tentunya, mereka yang ingin berkecimpung sebagai relawan dalam bidang ini harus memiliki persyaratan-persyaratan akademis yang memadai. Seorang profesional (spesialis maupun manajerial) yang ingin pulang ke kampus, semestinya disambut dengan gembira karena para tenaga pengajar di Indonesia umumnya hanya “pengalaman mengajar” sejak diwisuda dan jarang yang berpengalaman di masyarakat/industri.

Bila dijalani dengan kesadaran dan keikhlasan, menjadi relawan sangat mengasyikkan dan menyenangkan. Selain bisa mengamalkan ilmu, kita bisa mengisi sisa hidup ini dengan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat dan kitapun bisa bersosialisasi dengan generasi penerus. Ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri kalau menjalankannya penuh dengan kesadaran dan keikhlasan. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari bekerja sebagai relawan. Selain itu, bekerja sebagai relawan juga bisa mendatangkan uang atau honor yang lumayan untuk biaya beli bensin (ongkos transport).
Menjadi relawan di lembaga sosial akan menambah ‘jam terbang” kita sebagai penceramah dan nara sumber. Jika yang mengundangnya perusahaan besar, sebagai profesional, tentu saja pengalaman-pengalaman sebagai relawan di LSM/NGO akan menambah bobot kita. Bekerja sebagai relawan saya sering sebut “Beribadah gaya Siti Hajar”, yatitu bekerja atau beribadah di suatu lembaga, tapi rezekinya diperoleh dari tempat lain.

Usaha Manusia Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidupnya oleh Maghfira Ramadhanti 7A

Nama : Maghfira Ramadhanti
Kelas : 7A

Usaha Manusia Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidupnya

I.MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
Manusia adalah makhluk social yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan social. Sebagai makhluk sisoal (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agae dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.

II.MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK EKONOMI
Adam Smith (1729-1790) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi Dunia, dalam bukunya An Inquiry into The Nature and Causes of the Wealth of Nation (1776), menyatakan bahwa manusia adalah homo economicus. Artinya manusia adalah makhluk ekonomi yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang tealh diperolehnya dan senantiasa berusaha terus menerus memenuhi kebutuhannya. Manusia selalu berusaha mengejar kemakmuran untuk dirinya sendiri. Para individu akan saling bersaing mengejar kepentingannya masing-masing. Paparan yang dikemukakan oleh Adam Smith tersebut merupakan konsep dasar bahwa manusia adalah homo economicus. Dalam kamus ekonomi (Collin, 1999:178), manusia atau seseorang yang selalu bertindak secara rasional dalam mencapai tujuannya dan kemudian mengambil keputusan yang konsisten dengan tujuan tersebut. Jika ia seorang produsen atau pengusaha yang mempunyai sifat manusia ekonomi, ia akan senantiasa berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang akan diperolehnya dengan cara menentukan harga jual dan jumlah produksi yang sesuai. Jika ia seoarang konsumen yang mempunyai sifat manusia ekonomi, ia akan senantiasa berusaha untuk memaksimalkan keguanaan dan kepuasannya dengna cara yang menentukan pembelian barangdan jasa menurut seleranya dengan harga yang murah

III.CONTOH-CONTOH CARA MANUSIA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHANNYA
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan usaha-usaha ekonomi/ pekerjaan. Berikut contoh-contohnya

A. Buruh
Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik secara jasmani maupun rohani.
Pada dasarnya buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
• Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
• Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja
Buruh pada dasarnya hanya menunjuk kepada tenaga kerja di bidang industri dan jasa. Di bidang pertanian, tenaga kerja tidak lazim disebut sebagai buruh.
Organisasi Buruh
• ILO - International Labour Organization
• SPSI - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
• SPN - Serikat Pekerja Nasional
• FSBI - Federasi Serikat Buruh Independen
• GASBIINDO - Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia
• KASBI - Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
• FSPMI - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
B. Pemulung
Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang. Biasanya para pemulung berasal dari keluarga tidak berkecukupan dan tidak memiliki pendidikan tinggi. Karena tidak tahu harus berbuat apa untuk memenuhi kebutuhan hidup kelarga dan dirinya sendiri, profesi sebagai pemulung dipilih. Pekerjaan pemulung dianggap memiliki konotasi negatif. Seringkali orang-orang menganggap rendah pemulung. Padahal, pemulung sangat berjasa dalam memunguti sampah di sekitar. Jika tidak ada pemulung, kota kan semakin kotor, dan tidak akan ada seorangpun yang peduli. Benda yang kita anggap sampah sangat berarti bagi pemulung. Oleh karena itu, kita tidak boleh merendahkan profesi ini.
C. Pengemis di Jakarta
Berapa kali sehari Anda melihat pengemis di Jakarta? Dari pagi sampai malam mereka beroperasi. Di perempatan jalan, di sepanjang jalan yang macet, di atas angkutan umum, di seputar tempat ibadah. Nampaknya mengemis sekarang memang sudah dijadikan sebagai profesi. Contohnya adalah seorang ibu yang selalu duduk di bawah kolong jembatan Slipi ini. Di pagi hari dia bersama seorang bayi duduk di trotoar.

Dia sama sekali tidak menghiraukan asap yang keluar dari knalpot mobil dan motor. Jelaga itu pasti memenuhi hidung dan paru-parunya. Ya, begitulah. Dia rela duduk berjam-jam di situ. Sesekali dia menengadahkan tangannya, mengiba kepada para pengendara mobil dan motor untuk memberinya sedekah. Tapi, awas lho. Pemda DKI kemungkinan besar akan melarang orang untuk menjadi pengemis dan memberi uang kepada pengemis. Ancaman hukumannya tidak main-main. Pengemis dan warga yang memberi uang ke pengemis terancam denda Rp 100.000 sampai Rp 20 juta atau kurungan dua bulan.
Memang, berulang kali media massa melaporkan tentang adanya mafia pengemis. Mereka adalah orang-orang yang mengorganisir pengemis untuk beroperasi di jalanan. Mereka juga seringkali menyewakan bayi untuk diajak mengemis. Ini bukan barang baru. Orang-orang seperti inilah yang seharusnya diberantas.

Lalu, apakah kita sebaiknya tidak memberi kepada pengemis? Saya tidak tahu jawaban pastinya. Saya sendiri sangat selektif jika akan memberi kepada pengemis. Pengemis yang masih segar bugar tentu saja tidak akan saya beri. Mereka hanyalah pemalas saja. Pengemis yang membawa bayi juga tidak saya beri. Besar kemungkinanannya mereka juga bagian dari mafia pengemis Jakarta.
Sebenarnya akan lebih aman seandainya sedekah kita disalurkan kepada tetangga kanan kiri kita yang benar-benar kita kenal dan benar-benar membutuhkan. Kita pasti tahu siapa mereka dan kekurangan yang mereka butuhkan. Bisa juga sedekah disalurkan melalui tempat ibadah masing-masing. Bisa di masjid atau gereja.
Jika rancangan peraturan daerah itu benar-benar diberlakukan, artinya para pengemis itu bisa menuntut lapangan kerja ke Pemda DKI. Selama lapangan kerja tidak terpenuhi, selama itu pula pengemis ada di jalanan. Selama ada orang yang malas, selama itu pula ada pengemis di jalanan. Untuk membatasi jumlah mereka selektiflah dalam meberi sedekah. Dan, kepada pemerintah, sediakanlah lapangan kerja yang banyak.